Wednesday, June 4, 2008

STUDI FLORISTIK LUMUT (Bryophyta)

Ria Angelika S. Hut

FOReST INDONESIA PALU
1.1 Latar Belakang
Hutan-hutan di bagian tertinggi pegunungan di Indonesia kadang-kadang memiliki pemandangan yang unik. Pohon-pohon, baik batang dan dahan, dibalut oleh suatu lapisan tebal berwarna hijau. Begitu pula tanah dan bebatuan seolah-olah tertutup oleh karpet hijau. Semuanya diselimuti tumbuhan lumut sehingga sering disebut hutan lumut.
Hutan hujan tropis termasuk hutan pegunungan terkenal dengan keanekaragaman flora termasuk di dalamnya adalah jenis bryophyta (lumut). Berdasarkan data yang ada (Touwn, 1978), bryophyta terdiri dari kurang lebih 1500-2000 jenis mosses (lumut sejati) dan 1500-2000 jenis liverwort (lumut hati) yang mana mewakili sekitar 20%-30% seluruh jenis bryophyta (Sungkar, 2005).
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) adalah salah satu kawasan konservasi terbesar di Sulawesi Tengah dengan luas 217.991,18 Ha yang wilayahnya sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan sub pegunungan, dan sebagian kecil hutan dataran rendah. Titik terendah di dalam Taman Nasional ini terletak dekat ujung barat laut, ketinggiannya sekitar 200 m dpl dan titik tertinggi adalah gunung Nokilalaki 2355 m dpl, dan gunung Rorekatimbu 2585 m dpl. Hutan Lumut merupakan tipe hutan yang sangat berbeda dan ditemukan dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) terutama pada ketinggian di atas 1.700 m dpl. Pada puncak-puncak gunung di atas ketinggian 2000 m dpl, hutan ini dibedakan oleh tumbuhan lumut dan sejenis pohon kecil jamur dan alga yang menutupi batang, ranting, dan bahkan daun dari pohon-pohon yang ada. Mereka adalah satu-satunya yang sungguh-sungguh terancam oleh kerusakan hutan hujan dan bisa berfungsi sebagai bio-indikator kualitas sebuah habitat. Jenis terbatas dengan hutan primer termasuk beberapa taxa endemik yang sangat langka yang diketahui hanya dari koleksi tunggal atau koleksi yang sangat sedikit maupun dari koleksi umum. Kelembaban yang tinggi dan penyekatan dari sinar matahari karena tutupan awan yang konstan pada wilayah-wilayah ini menjadikan komunitas briofit yang tumbuh lebat. Hutan sub-alpin di Taman Nasional ini berada di atas ketinggian 2.000 meter dpl. Keadaan hutannya sering diselimuti kabut, dan sebagian besar pohonnya kerdil-kerdil yang ditumbuhi lumut (TNC, 2004). Hingga saat ini jenis-jenis lumut yang dilaporkan terdapat di Sulawesi lebih sedikit dibandingkan Kalimantan dan Papua.
Hal ini disebabkan antara lain karena masih kurangnya penelitian lumut di Sulawesi. Belum banyaknya informasi mengenai jenis-jenis lumut di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna upaya pengelolaan dan pelestarian keanekaragaman hayati di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Ekologi Lumut
Lumut termasuk Phylum Bryophyta. Lebih maju daripada ganggang, karena sudah memiliki batang dan daun, tapi jaringannya masih sederhana. Akarnya disebut rizoid, untuk melekat dan mengisap air dan mineral. Di tempat basah, lembab dan ternaung. Ada juga yang dapat hidup di tempat kering, seperti di rekahan batu karang. Meski lumut hidup di tempat basah, lumut butuh udara kering dan angin untuk menyebarkan spora. Karena itu lumut dapat dianggap tumbuhan amfibi, seperti katak pada hewan. Hidup autotrof, tidak ada yang saprofit ataupun parasit. Memiliki pergantian generasi gametofit (tumbuhan penghasil gamet) dan sporofit (tumbuhan penghasil spora).
Bryophyta yang dikenal dengan sebutan lumut, merupakan kelompok tumbuhan tidak berpembuluh. Kelompok tumbuhan ini seringkali dijumpai tumbuh pada habitat basah atau lembab, seperti di tanah, batu-batuan, permukaan tembok, pot tanaman, kulit pohon atau permukaan daun. Tumbuhan lumut dikelompokan menjadi tiga kelas, yaitu lumut hati (Hepaticopsida), lumut tanduk (Anthocerotopsida) dan lumut sejati (Bryopsida).
Lumut yang bahasa ilmiahnya disebut Bryophyta merupakan tumbuhan hijau berukuran kecil, tidak berbunga dan tidak memiliki jaringan pembuluh. Dengan bantuan organ mirip akar, bernama rhizoid, tumbuhan ini dapat hidup menempel pada batang dan dahan kayu, batu, tanah, kayu mati atau serasah. Daerah pegunungan merupakan tempat yang paling banyak ditumbuhi lumut. Namun ada beberapa jenis lumut yang mampu hidup di lokasi yang “tidak bersahabat” seperti di tempat panas dan kering. Kemampuan lumut untuk mengatur metabolisme tubuhnya menyesuaikan diri dengan tingkat kelembaban yang ada, memungkinkan hal itu terjadi. Lumut mempunyai struktur yang sederhana. Perkembangbiakannya secara vegetatif melalui potongan tubuhnya yang menyebar terbawa oleh angin atau dipungut oleh burung untuk membuat sarang. Di seluruh Indonesia sedikitnya terdapat 1.500 jenis lumut dengan bentuk, ukuran dan warna yang beranekaragam (Sungkar, 2005).
Lumut hati dan lumut sejati hidup di tanah, pada pasir lembab, bebatuan, dan pada batang pohon serta cabang-cabangnya baik yang tegak maupun yang melepa. Juga mereka itu tumbuh dalam air dan di antara tumbuhan lain-lain di lapangan, padang rumput, payau dan rawa. Beberapa spesies tumbuh subur di berbagai habitat, yang lain-lain terbatas pada lingkungan yang khusus. Umpamanya, lumut sejati tertentu meminta macam tanah khusus sehingga terbatas pada tanah asam saja atau basa saja. Lumut sejati lebih toleran pada tempat terlindung daripada bentuk tumbuhan tingkat yang lebih tinggi, dan hal ini menerangkan kemampuannya menyerbu lapangan rumput dan menggantikan rumputnya di tempat-tempat yang teduh. Lumut hati meliputi banyak bentuk xerofit, juga mesofit dan hidrofit. Lumut juga dapat menyesuaikan diri pada suhu yang sangat ekstrim, karena lumut tersebut berkisar antara yang hidup di daerah arktik sampai kepada yang di tropik, dan tumbuh di sekitar air panas. Perkembangannya yang paling subur ialah di hutan-hutan basah lagi sejuk (Tjitrosomo et all, 1984).
Ewusie (1990) berpendapat bahwa hutan pegunungan sebenarnya terdiri dari satu tingkat pepohonan membelit dengan pertumbuhan padat dengan percabangan yang banyak sekali. Di sini daunnya lebih kecil daripada yang ada di hutan hujan. Sebagaimana halnya dengan hutan dwi-tingkat, batang dan cabang pepohonan itu terselimuti hamparan tebal lumut hati dan lumut daun yang mungkin bergelantungan sebagai untaian. Corak ini dinamakan lahan hutan peri atau hutan berlumut. Diantara lumut hati dan lumut daun itu tumbuhlah sejumlah tumbuhan paku dan tumbuhan bunga. Dalam hutan ini lebih banyak cahaya yang menembus dan nabatah teduhannya lebih lebat. Bunga pepohonan, semak, dan epifit sering banyak sekali dan mencolok. Berbagai corak ini membuat hutan peri itu sebagai salah satu jenis nabatah yang paling menonjol. Biasanya tumbuhan pencekik tidak ditemukan dalam hutan ini. Pada tempat yang banyak berkabut terdapat banyak sekali lumut epifit, sedangkan tumbuhan merambat kecil dapat ditemukan di dekat batas tingkat atas hutan itu.
Lumut biasanya memasuki suksesi sebagai spora, dan diantara sumbu-sumbunya yang erat berumpun dan rizoid-rizoidnya yang sering teranyam rapat, tanah muda terhimpun dengan cepat. Kadang-kadang, pada bantalan-bantalan lumut yang besar, akumulasi tanah itu dapat menjadi cukup tebal, membentuk sarang-sarang yang bagus untuk pemukiman dan kehidupan terna terutama terna annual dengan kecenderungan sifat xerofitik. Lumut-lumut epifitik (kebanyakan lumut hepar yang bersifat seperti daun-daun kecil) cenderung terdapat dalam jumlah yang melimpah-limpah dan tumbuh subur dimana kabut selalu terdapat dalam hutan dan dalam hutan yang lebih tinggi letaknya, yang secara karakteristik sekali menyelimuti batang-batang dan juga bergelantungan dari hampir setiap “titik“ yang memungkinkan, sehingga lumut-lumut itu lebih banyak menciptakan tontonan yang jauh lebih menarik daripada dalam hutan-hutan yang bertingkat tiga, itulah sebabnya hutan tipe ini disebut dengan nama hutan lumut. Dalam hutan lumut ini pohon-pohon menjadi kerdil dengan batang-batang seperti terpilin, sangat rendah dan aneh sekali dalam bentuknya yang paling ekstrem dikenal sebagai “Krummholz” (bah. Jerman, Krumm = bengkok, holz = pohon, kayu), meskipun masih di”hias” dengan lumut dan lain-lain (Polunin, 1994).
Tumbuhan ini hidup subur pada lingkungan yang lembab dan banyak sekali dijumpai, khususnya di hutan-hutan tropik dan di tanah hutan daerah iklim sedang yang lembab. Walaupun ukurannya kecil dan strukturnya relatif sederhana, bryophyta tak disangsikan lagi merupakan kelompok tumbuhan yang berhasil, dibuktikan oleh jumlahnya yang besar (sekurang-kurangnya 20.000 jenis) yang dikenal. Meskipun demikian, karena sistem pembuluhnya tidak pernah berkembang secara efisien, lumut ini tak mampu mencapai ukuran besar atau merupakan tumbuhan dominan di daratan (Loveless, 1989).
Manfaat Lumut
Lumut sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman hias. Akan tetapi bukan hanya keindahannya saja, lumut juga memiliki banyak manfaat lainnya. Sebagai tumbuhan perintis yang mampu hidup di tempat tidak menyenangkan, beberapa macam lumut dapat menciptakan lingkungan yang akhirnya akan dihuni oleh berbagai tumbuhan lain dan hewan-hewan kecil seperti serangga. Tumbuhan ini juga memiliki peran penting dalam mengatur kelembaban di suatu tempat karena kemampuannya menahan dan menyerap air. Di alam, lumut merupakan bahan penting bagi burung dalam membuat sarangnya, dan juga menjadi media tumbuh bagi beberapa jenis anggrek. Ada pula jenis-jenis lumut tertentu yang memiliki kandungan antibiotik sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat (Sungkar, 2005).
Dari segi positif lumut daun (lumut gambut) penting sebagai pembentuk gambut, yang untuk sebagian besar terdiri dari atas sisa-sisa lumut gambut, dan sebagai stabilisator bukit-bukit pasir dan sistem-sistem erosif lainnya yang permukaannya dibantu pengikatannya oleh lumut-lumut itu. Gambut secara besar-besaran digunakan sebagai bahan bakar dan dalam perbaikan tanah. Karena sifatnya sebagai bahan isolasi bila dalam pekerjaan-pekerjaan bangunan dan pengemasan, dan karena kemampuannya untuk menyerap dan menahan air, juga banyak digunakan sebagai pembalut dalam pembedahan (sebagai pengganti kapas) dan dalam pengangkutan tumbuh-tumbuhan hidup (Polunin, 1994).
Arti penting lumut hati itu sebagai pembentuk tanah sesudah liken ataupun bentuk-bentuk kehidupan lain yang lebih rendah di atas permukaan bebatuan gundul. Penyimpanan air oleh massa lumut hati berdaun dan lumut sejati yang tumbuh pada pohon-pohon tumbang dan bahan organik lain mempercepat proses dekomposisi dan sebab itulah memperkaya bahan organik dalam tanah (Tjitrosomo et al, 1984).
Lumut bisa berfungsi sebagai lapisan bagi tanaman-tanaman lain dan memberikan tempat berlindung bagi hewan-hewan (katak, kadal, keong, anthropoda dsb). Banyak anggrek kecil tumbuh pada hamparan berlumut yang menutupi cabang-cabang di puncak-puncak pohon dan biasanya disebut “lumut epifit”. Lingkungan basah yang diciptakan oleh lumut juga cukup menguntungkan bagi keberlangsungan dan pertumbuhan kelompok-kelompok mikroorganisme penting, seperti perbaikan nitrogen pada ganggang biru dan hijau. Pada hutan hujan tropis, telah dibuktikan bahwa fiksasi nitrogen pada daun-daun hidup ganggang biru dan hijau adalah proporsional bagi biomass lumut hati yang kecil epifit yang menutupi daun-daun tersebut.
Peranan Lumut dalam ekosistem tropis
Lumut mempunyai peranan penting pada tingkat berbeda dalam sebuah lingkungan, yang bervariasi antara lingkungan kecil daun tropis sampai pada lingkungan keseluruhan. Mereka adalah salah satu koloni pertama lapisan bawah sederhana dan memainkan peranan penting di awal perkembangan tanah. Pada beberapa habitat, seperti tanah berlumpur dan hutan-hutan pegunungan, mereka memiliki bagian utama dari biomass. Lapisan tebal lumut-lumut di pohon-pohon dan tanah bisa mengurangi erosi dengan cara menyerap air hujan dalam jumlah banyak. Pada skala yang lebih kecil, lumut telah diperlihatkan memainkan peranan penting dalam fiksasi nitrogen dalam sebuah lingkungan, contohnya di tanah dan pada daun-daun individual di hutan hujan.
Lumut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan air di ekosistem tropis. Kandungan besar lumut epifit (sebagian besar adalah lumut hati) pada hutan-hutan kabut atau ”hutan berlumut” adalah sangat efektif dalam penyimpanan air dalam jumlah besar. Penelitian tentang kapasitas penyimpanan air lumut telah mengungkapkan bahwa lumut dapat menyimpan rata-rata 5 kali dan maksimal 25 kali dari berat saat kering. Persentase penting akan curah hujan diserap oleh lumut ini, yang mungkin setinggi 20-40% di hutan dengan kanopi berlumut. Bagian air menguap kembali ke atmosfer, sedangkan surplus menetes sedikit demi sedikit sepanjang batang pohon atau dengan bebas menetes ke tanah. Dengan menampung air hujan dan berada diantara jaringan-jaringan tanaman, lapisan lumut berfungsi sebagai penyimpanan air, mencegah air cepat jatuh dan mengalir ke sungai dan sungai kecil. Dengan memiliki vegetasi lumut yang baik, hutan-hutan di pegunungan tropis bisa berfungsi sebagai penyimpanan air bagi tanah di sekelilingnya dan bagi daerah-daerah lereng bawah. Sama dengan tanah yang dipakai sebagai bahan pembakar dalam ”paramos”, terbuat dari spesies Sphagnum, ini juga menyimpan air hujan dalam jumlah banyak dan berfungsi sebagai penyimpan air.
Lumut bisa digunakan sebagai bio-indikator karena lumut kekurangan jaringan-jaringan untuk menyerap dari lapisan kulit bawah juga tidak mempunyai kulit ari daun yang bersifat melindungi seperti pada tanaman yang berbunga. Maka dari itu, ada jalan masuk yang cukup bebas bagi larutan dan gas bagi sebagian besar sel-sel hidup tanaman. Lumut bisa menyerap bahan-bahan penyebab pencemaran melalui daun dan mengumpulkannya dalam jumlah besar. Karena kepekaan terhadap perubahan kelembaban udara sekeliling dan kualitas air, dan mereka relatif lambat tumbuh, lumut adalah bio indikator yang sangat baik bagi perubahan-perubahan kecil pada kondisi-kondisi yang bersifat lingkungan ataupun iklim dan secara tidak langsung berfungsi sebagai indikator bagi gangguan dalam ekosistem. Karena alasan-alasan inilah lumut sering digunakan di beberapa negara sebagai bio-indikator untuk memonitor polusi udara dan perubahan kualitas air danau dan sungai (Gradstein et.al, 2001).
Lumut Sebagai Indikator Gangguan hutan.
Dikarenakan kelimpahan lumut di hutan-hutan hujan tropis, mereka dipengaruhi oleh gangguan hutan. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa perubahan floristik yang dikarenakan penebangan hutan ternyata sangat besar, tergantung pada jumlah kerusakan yang berdampak pada hutan. Telah diketahui bahwa perkebunan spesies pohon eksotis bisa mengandung kurang dari 10% flora lumut yang berdekatan dengan hutan hujan asli. Hutan-hutan sekunder yang memiliki flora pohon dengan beragam jenis bisa menyimpan 50-70% spesies lumut dalam hutan yang tidak terjamah. Telah ditunjukkan bahwa hutan epifit di tempat teduh terutama dalam semak-semak hutan akan lebih terpengaruh oleh gangguan dibandingkan dengan mereka yang tumbuh pada kanopi yang tinggi (Gradstein, 1992). Alasannya adalah karena epifit di tempat teduh kurang bias beradaptasi dengan desikasi, oleh karena itu mereka adalah yang pertama menghilang ketika kanopi hutan dibuka.
Lumut epifil juga sepertinya sensitif terhadap gangguan hutan dikarenakan pilihan mereka akan habitat yang lebih teduh. Kejelasan yang dihasilkan dalam kerugian yang terjadi dengan cepat pada banyak lumut-lumut hutan. Setelah generasi hutan selama 25 tahun, walau bagaimanapun, setidaknya beberapa jenis spesies telah muncul kembali (Gradstein, 1992). Bagaimana caranya lumut cocok dengan rangkaian hutan hujan tetap menjadi tanda tanya besar. Penyamarataan adalah hal yang berbahaya dikarenakan adanya beragam jenis hutan dan kekayaan lumut-lumut yang sangat bervariasi.
Untuk kepentingan konservasi, jenis ekslusif untuk hutan-hutan primer adalah yang sangat penting. Mereka adalah satu-satunya yang sungguh-sungguh terancam oleh kerusakan hutan hujan dan bisa berfungsi sebagai bio-indikator kualitas sebuah habitat. Jenis terbatas dengan hutan primer termasuk beberapa taxa endemik yang sangat langka yang diketahui hanya dari koleksi tunggal atau koleksi yang sangat sedikit maupun dari koleksi umum. Sepertinya, indikator dari hutan-hutan dataran rendah lebih banyak dibandingkan dengan hutan-hutan pegunungan, dengan alasan yang tidak jelas.
Habitat lumut di gunung Rorekatimbu terletak di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, tepatnya pada bagian Timur yang mendekati batas bagian luar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Secara geografis, gunung Rorekatimbu terletak pada 01°16'33,8" LS dan 120ยบ18'34,3" BT, dengan ketinggian 2585 m dpl (Data Primer, 2007).
Iklim
Keadaan iklim di Sedoa, yaitu termasuk tipe A (lembab permanen dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1200-3000) menurut iklim Schimidt dan Fergusson (BTNLL, 2004).
Geologi
Taman Nasional Lore Lindu terletak antara dua patahan utama di Sulawesi Tengah. Pada daerah pegunungan, umumnya berasal dari batuan asam seperti Gneisses, Schits dan Granit, punya sifat peka terhadap erosi. Formasi lakustrin banyak ditemukan di bagian Timur Taman Nasional, umumnya dataran Danau yang datar atau berawa. Keadaan tanah di TNLL bervariasi dari yang belum berkembang (entisol), sedang berkembang (inseptisol) sampai sudah berkembang (altisol) dan sebagian kecil ultisol.
Topografi
Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 200-2585 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah gunung Rorekatimbu (2585 m dpl) dan gunung Nokilalaki (2355 m dpl). Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam hingga sangat curam. Topografi habitat lumut di gunung Rorekatimbu berada pada Sub zona alpin hutan pegunungan merupakan transisi antara hutan pegunungan dan hutan alpin, yaitu berbukit-bukit dan sangat curam.
Flora
Vegetasi yang terbentuk di habitat lumut adalah hutan sub-alpin. Hutan sub-alpin di Taman Nasional ini berada diatas ketinggian 2.000 meter dpl Suku yang dominan adalah Lauraceae dan Fagaceae. Keadaan hutannya sering diselimuti kabut, dan sebagian besar pohonnya kerdil-kerdil yang ditumbuhi lumut (BTNLL, 2004).
4.2. Fauna
Beberapa jenis hewan yang ditemukan yaitu Anoa (Bubalus Sp), Babi hutan (Sus Sp), Tarsius (Tarsius spectrum), Tokek (Gecko gocko), Rangkong (Rhyticeros casidix) dan sekitar 263 jenis burung ditemukan di Sulawesi, 30% diantaranya merupakan endemik, 66 jenis burung ini ditemukan di TN Lore Lindu (BTNLL, 2004).
Aksesibilitas
Dapat dicapai melalui jalur darat dari Kota Palu. Lokasi dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat adalah Palu-seksi Konservasi Wilayah III Wuasa dan dapat ditempuh selama 3 jam.

Gradstein et al (2005) melaporkan sejauh ini di Sulawesi terdapat 476 jenis yang terdiri dari 340 lumut Sejati (145 Marga), 134 lumut Hati (46 Marga) dan 2 lumut Tanduk (2 Marga). Menurut Gradstein et al (2005) jumlah jenis lumut di Sulawesi tergolong sedikit diketahui jika dibandingkan dengan pulau-pulau utama yang lain di Indonesia seperti di pulau Kalimantan dan Papua. Lumut – lumut di Sulawesi kurang banyak diketahui karena belum banyaknya tersedia buku-buku atau daftar nama – nama lumut untuk Sulawesi. Hal ini mungkin disebabkan karena masih kurangnya penelitian tentang lumut di Sulawesi.
Pada penelitian ini ditemukan 50 jenis lumut dan diantaranya terdapat 6 jenis yang memberikan sumbangan yang signifikan atau merupakan bahan terhadap ilmu pengetahuan. Jenis tersebut merupakan rekor baru untuk Sulawesi (New record), lumut-lumut tersebut yaitu Aneura sp, Riccardia sp1, Riccardia sp2, Jungermania hasskarliana (Nees) Riif, Lepidozia trichodes, Lepidozia wallichiana Steph. Dalam penelitian ini juga ditemukan 1 jenis yang merupakan endemik Sulawesi yaitu Chandonanthus hircllus (Lophoziaceae). Dari 50 jenis lumut tersebut 32 jenis merupakan epifit pada pohon, 1 jenis epifil pada daun, 9 jenis di permukaan batu dan 8 jenis terdapat di lantai hutan.
Lumut sejati anggota kelas Bryopsida (disebut juga Musci) mempunyai struktur gametofit dan sporofit lebih kompleks dibandingkan dengan kelompok lainnya. Di seluruh dunia diperkirakan dijumpai sekitar 900 marga terdiri dari 8000 jenis. Gametofit kelompok lumut ini terdiri dari batang dengan cabang dan daun, tumbuh tegak (acrocarpous) atau merayap (pleurocarpus). Lumut sejati dapat dengan mudah dibedakan dari lumut hati berdaun karena pada umumnya daun lumut sejati tersusun spiral dan tidak pernah berbagi.
Lumut hati meliputi sekitar 5000 jenis. Istilah lumut hati mengungkapkan kemiripan cuping lumut bertalus dengan bentuk hati manusia. Meskipun kelompok ini merupakan tumbuhan xerotholerant, kebanyakan lumut hati dijumpai pada habitat lembab atau ternaungi. Lumut hati dapat hidup di semua lingkungan, kecuali di laut. Umumnya lumut hati tumbuh merayap, ascending, tegak, atau ada beberapa jenis yang menggantung. Lumut hati melekat pada substrat dengan struktur menyerupai akar disebut rhizoid. Rhizoid ini hanya terdiri atas satu sel, jarang sekali bersel banyak. Lumut hati dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lumut hati berdaun dan lumut hati bertalus. Lumut hati berdaun lebih banyak ditemukan di alam dibandingkan dengan lumut hati bertalus. Umumnya dijumpai sebagai epifit di batang dan cabang-cabang pohon di tempat-tempat yang tinggi. Beberapa tumbuh menempel pada daun-daun (epifil) seperti pada jenis Aerobrydium wallichii (Brid.) Fleisch. Kelompok lumut ini sudah mempunyai batang dan daun. Lumut hati berdaun dapat tumbuh tegak, merayap atau menggantung. Sel-sel daun lumut hati berdaun mengandung badan-badan minyak (oil body) dan ciri ini merupakan ciri penting untuk identifikasi. Sedangkan lumut hati bertalus tidak dapat dibedakan menjadi batang dan daun. Struktur talus tersebut tumbuh merayap, bentuknya pipih, kurang lebih menyerupai pita berwarna hijau, biasanya bercabang menggarpu atau tidak beraturan atau pada Riccardia sp1, bercabang menyirip.
Lumut tanduk merupakan kelompok kecil pada bryophyta, meliputi kurang dari 100 jenis dengan 8-9 marga. Beberapa anggotanya yang umum di jumpai di daerah tropis adalah Anthoceros, Dendroceros, Folioceros, megaceros, Notothylas dan Phaeoceros. Lumut tanduk biasanya tumbuh di tempat yang agak terbuka di tanah atau batu di tepi sungai atau tepi jalan, tetapi Dendroceros dan Megaceros dapat dijumpai sebagi epifit pada pohon atau batang lapuk di hutan pegunungan yang lembab. Di dalam sel lumut tanduk tidak dijumpai adanya badan-badan minyak (oil body).

Refferences
Gradstein, S.R., 1992. The Vanishing Tropical Rain Forest An Environment For Bryophytes And Lichens In : J.W. Bates and A.M. Farmer (editors). Bryophtes and Lichens in a Changing Environment. Clarendon Press. Oxford.
Gradstein, S.R., 2004. Preliminary Keys To The Hepaticae And Anthocerotae Of West Java. University of Gottingen, Germany.

Gradstein et. all., 2001. Guide to the bryophytes. Remoits New York Botanical Garden, New York.

____________., 2005. A catalogue Of The Bryophytes Of Sulawesi, Indonesia. University of Gottingen, Germany.

Loveless, A.R, 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. PT Gramedia, Jakarta.
Polunin, N., 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sungkar, R., 2005. Taman Lumut Kebun Raya Cibodas. PT Griya Asri Prima, Jakarta.

The Nature Conservacy., 2004. Data Proyeksi dan Analisis Taman Nasional Lore Lindu 2004-2009, Palu.

Tjitrosomo, S. S., S. Harran dan A. Sudarto, dkk., 1984. Botani Umum 3. Angkasa, Bandung.

Tjitrosoepomo, G., 1986. Taksonomi Tumbuhan. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.

Touw, A., 1978. The mosses reported From Borneo. J. Hattori Bot. Lab. 44: 147-176.

Watson E.V., 1964. The Structure And Life Of Bryophytes. Hutchinson University Library, London.

Akhir kata :
” Lumut sangat berperan dalam ekosistem hutan dan juga berperan sebagai indikator kerusakan hutan sehingga perlu dipertahankan keberadaannya dan kelestariannya di Taman Nasional Lore Lindu.”

Wassalam
SALAM RIMBA
Copyright : angelika@myquran.org

No comments: